Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Laman

Powered By Blogger

Mutisme Elektive

vBAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah bentuk aturan atau sistem lambang yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara mengacu pada simbol verbal. Selain itu bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestural atau pantomim.
Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat.
Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir dua kali lebih banyak daripada wanita. Menurut penelitian anak dengan riwayat sosial ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan bicara dan bahasa yang lebih tinggi daripada anak dengan riwayat sosial ekonomi menengah ke atas.
Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah. Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2 sampai 4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,3-19%. Sebagian besar studi melaporkan prevalensi dari 40% sampai 60%.
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria keterlambatan perkembangan berbahasa. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa.
Penelitian Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah tiga tahun.


B.     Tujuan
Untuk mengetahui fisiologi bicara, fisiologi pendengaran, etiologi, pemeriksaan penunjang dan deteksi dini delayed speech.

  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Fisiologi Bicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara.
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya berada
di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick, merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.

B.     Fisiologi Pendengaran
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol gerakan bicara.
Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.

Proses reseptif – Proses dekode
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh talamus dan selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal dari sisi telinga yang berlawanan.
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa intonasi, tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.

Proses ekspresif – Proses encode
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.

Bagan Kemampuan Bicara

C.    Etiologi
Penyebab Gangguan Bicara dan Bahasa menurut Blager BF.
Penyebab
Efek Pada Perkembangan Bicara
1.    Lingkungan

a.   Sosial ekonomi kurang
a.    Terlambat
b.  Tekanan keluarga
b.    Gagap
c.   Keluarga bisu
c.    Terlambat pemerolehan bahasa
d.  Dirumah menggunakan bahasa
d.   Terlambat pemerolehan struktur bahasa bilingual
2.    Emosi

a.       Ibu yang tertekan
a.       Terlambat pemerolehan bahasa
b.      Terlambat atau gangguan
b.      Gangguan serius pada orang tua
c.       Gangguan serius pada anak
c.       Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa
3.    Masalah pendengaran

a.       Kongenital
a.       Terlambat atau gangguan bicara permanen
b.      Didapat
b.      Terlambat atau gangguan bicara permanen
4.    Perkembangan terlambat

a.       Perkembangan lambat
a.       Terlambat bicara
b.      Retardasi mental
b.      Pasti terlambat bicara
5.    Cacat bawaan

a.       Palatoschizis
a.       Terlambat dan terganggu kemampuan bicara
b.      Sindrom Down
b.      Kemampuan bicaranya lebih rendah
6.    Kerusakan otak

a.       Kelainan neuromuscular
a.        Mempengaruhi kemampuan menghisap,

menelan, mengunyah dan akhirnya timbul

gangguan bicara dan artikulasi seperti disartria
b.      Kelainan sensorimotor
b.        Mempengaruhi kemampuan menghisap,

menelan, akhirnya menimbulkan gangguan

artikulasi, seperti dispraksia
c.       Palsi serebral
c.        Berpengaruh pada pernapasan, makan

dan timbul juga masalah artikulasi yang

dapat mengakibatkan disartria dan

dispraksia
d.      Kelainan persepsi
d.       Kesulitan membedakan suara, mengerti

bahasa, simbolisaasi, mengenal konsep,

akhirnya menimbulkan kesulitan belajar

di sekolah

 Dalam literatur lain, disebutkan beberapa penyebab keterlambatan bicara dan berbahasa yang terlihat pada tabel di bawah ini :

Penyebab


Kemampuan

Bahasa
Bahasa
pemecahan
Pola
reseptif
ekspresif
masalah
perkembangan


visuomotor

Keterlambatan
Normal

Kurang normal
Normal
Hanya ekspresif
fungsional


yang terganggu
Gangguan
Kurang normal
Kurang normal
Normal
Disosiasi
pendengaran




Redartasi
Kurang normal
Kurang normal
Kurang normal
Keterlambatan
mental



global
Gangguan
Kurang normal
Kurang normal
Normal
Disosiasi,
komunikasi



deviansi
sentral




Kesulitan
Normal,
Normal
Normal,
Disosiasi
belajar
Kurang normal

Kurang normal

Autis
Kurang normal
Normal,
Tampaknya
Disosiasi,


Kurang normal
normal, normal,
deviansi



selalu lebih baik




dari bahasa

Mutisme elektif
Normal
Normal
Normal,




Kurang normal


   
D.    Patofisiologi
  E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem Response
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai ke otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang berbeda–beda pada tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak. Tesnya tidak menyakitkan (un-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.

2.      TES OAE (Oto Acoustic Emission).
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan menangkap responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah siput.

3.      Tes Tympanometri
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan gerak) gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika hasil OAE menunjukkan respon negatif.

4.      Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri memerlukan : audiometer, ruang kedap suara, dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang adalah :
a.       Audiometri nada murni
b.      Audiometri tutur
Audiometri nada murni adalah tes dasar untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran. Selama tes, orang yang dites akan mendengar nada murni yang diberikan pada frekwensi yang berbeda melalui sebuah headphone atau ear phone. Intensitas nada berangsur-angsur dikurangi sampai ambang dengar, titik dimana suara terkecil yang dapat didengar akan diketahui. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram.
Caranya dengan memberikan nada murni baik melalui earphone (direct to ear) ataupun speaker (free field test) dan meminta respon balik dari pasien apakah bunyi terdengar atau tidak. Tesnya tidak menyakitkan namun agak subyektif dan memerlukan respon aktif dari pasien. Cukup sulit dilakukan khususnya untuk anak-anak.
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekwensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel. Suara dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (bone conduction).
Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran dengan bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik. Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien gangguan pendengaran.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan mengerti percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi oleh orang yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan benar dapat diketahui.

5.      TES ASSR (Auditory Steady State Response).
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup
lama, kurang lebih 1 jam.
Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.

F.     Deteksi Dini Delay Speech
Semakin dini kita mendeteksi kelainan atau gangguan tersebut maka semakin baik pemulihan gangguan tersebut. Semakin cepat diketahui penyebab gangguan bicara dan bahasa pada maka semakin cepat stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini gangguan bicara dan bahsa ini harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam penanganan anak ini, mulai dari orang tua, keluarga, dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan dan dokter anak yang merawat anak tersebut.
Ada beberapa tahap bicara yang sebaiknya diperhatikan orangtua, dijabarkan sebagai berikut :
Usia
Kemampuan
0-1 bulan
Respons bayi saat mendengar suara dengan melebarkan

mata atau perubahan irama pernafasan atau kecepatan

menghisap susu
2-3 bulan
Respons bayi dengan memperhatikan dan mendengar orang

yang sedang bicara
4 bulan
Menoleh atau mencari suara orang yang namanya dipanggil
6-9 bulan
Babbling (mengucapkan satu suku kata), mengerti bila

namanya disebut
9 bulan
Mengerti arti kata "jangan"
10-12 bulan
Imitasi suara, mengucapkan mama/papa dari tidak berarti

sampai berarti kadang meniru 2-3 kata. Mengerti perintah

sederhana seperti "Ayo berikan pada saya"
13-15 bulan
Perbendaharaan 4-7 kata, 20% bicara mulai dimengerti

orang lain
16-18 bulan
Perbendaharan 10 kata, beberapa ekolalia (meniru kata yang

diucapkan orang lain), 25% dapat dimengerti orang lain
22-24 bulan
Perbendaharan 50 kata, kalimat 2 kata, 75% dapat

dimengerti orang lain
2-2,5 tahun
Perbendaharan > 400 kata, termasuk nama, kalimat 2-3

kata, mengerti 2 perintah sederhana sekaligus
3-4 tahun
Kalimat dengan 3-6 kata ; bertanya, bercerita, berhubungan

dengan pengalaman, hampir semua dimengerti orang lain
4-5 tahun
Kalimat degan 6-8 kata, menyebut 4 warna, menghitung

sampai 10


























Untuk memudahkan orangtua ada beberapa tahap bicara yang dapat dijadikan parameter. Seperti telah dijelaskan bahwa semakin dini diketahui adanya gangguan perkembangan, semakin cepat dapat dilakukan intervensi berupa stimulasi. Orangtua harus mulai waspada bila :
1.      Pada usia 6 bulan, bayi tidak melirik atau menoleh pada sumber suara yang datang dari belakang atau sampingnya
2.      Pada usia 10 bulan, bayi tidak merespons bila dipanggil namanya
3.      Pada usia 15 bulan, anak tidak mengerti atau merespons terhadap kata "tidak" atau "jangan"
4.      Pada usia 21 bulan, anak tidak merespons terhadap perintah : duduk, kesini, atau berdiri
5.      Pada usia 24 bulan, anak tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian tubuh seperti mulut, hidung, mata atau kuping.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
Fokus pengkajian pada anak 2 – 3 tahun yang mengalami gangguan bicara :

1.      Data Subyektif :
a.       Pada anak yang mengalami gangguan bahasa :
1)      Umur berapa anak saudara mulai mengucapkan satu kata ?
2)      Umur berapa anak saudara mulai bisa menggunakan kata dalam suatu kalimat ?
3)      Apakah anak anda mengalami kesulitan dalam mempelajari kata baru ?
4)      Apakah anak anda sering menghilangkan kata-kata dalam kalimat yang diucapkan dalam kalimat yang diucapkan ?
5)      Siapa yang mengasuh di rumah ?
6)      Bahasa apa yang digunakan bila berkomunikasi di rumah ?
7)      Apakah pernah diajak mengucapkan kata-kata.
8)      Apakah anak anda mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata ?

b.      Pada anak yang mengalami gangguan bicara :
1)      Apakah anak anda sering gugup dalam mengulang suatu kata?
2)      Apakah anak anda sering merasa cemas atau bingung jika ingin mengungkapkan suatu ide?
3)      Apakah anda pernah perhatikan anak anda memejamkan mata, menggoyangkan kepala, atau mengulang suatu frase jika diberikan kata-kata baru yang sulit diucapkan?
4)      Apa yang anda lakukan jika hal di atas ditemukan?
5)      Apakah anak anda pernah/sering menghilangkan bunyi dari suatu kata?
6)      Apakah anak anda sering menggunakan kata-kata yang salah tetapi mempunyai bunyi yang hampir sama dngan suatu kata?
7)      Apakah anda kesulitan dalam mengerti kata-kata anak anda?
8)      Apakah orang lain merasa kesulitan dalam mengerti kata-kata anak anda?
9)      Perhatikan riwayat penyakit yang berhubungan dengan gangguan fungsi SSP seperti infeksi antenatal (Rubbela syndrome), perinatal (trauma persalinan), post natal (infeksi otak, trauma kepala, tumor intra kranial, konduksi elektrik otak).

2.      Data Obyektif :
a.       Kemampuan menggunakan kata-kata.
b.      Masalah khusus dalam berbahasa seperti (menirukan, gagap, hambatan bahasa, malas bicara).
c.       Kemampuan dalam mengaplikasikan bahasa.
d.      Umur anak.
e.       Kemampuan membuat kalimat.
f.       Kemampuan mempertahankan kontak mata.
g.      Kehilangan pendengaran (Kerusakan indra pendengaran).
h.      Gangguan bentuk dan fungsi artikulasi.
i.        Gangguan fungsi neurologis.

B.     Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada anak yang mengalami gangguan bicara meliputi :
1.         Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa.
2.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi.
3.         Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran.
4.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa.
5.         Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berkomunikasi.
6.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan.
7.         Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat.


C.    Rencana Keperawatan
Diagnose Keperawatan
Intervensi
Rasional
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kurangnya stimulasi bahasa

-            Lakukan latihan komunikasi dengan  memperhatikan perkembangan mental anak

-            Lakukan komunikasi secara komprehensif baik verbal maupun non verbal.


-            Berbicara sambil bermain dengan alat untuk mempercepat persepsi anak tentang suatu hal.

-            Berikan lebih banyak kata meskipun anak belum mampu mengucapkan dengan benar.

-            Lakukan sekrening lanjutan dengan mengggunakan Denver Speech Test.

-            Latihan bicara yang sesuai dengan perkembangan anak akan menghindari ekploatasi yang berakibat penekanan fungsi mental anak.
-            Komunikasi yang komprehensif akan memperbanyak jumlah stimulasi yang diterima anak sehingga akan memperkuat memori anak terhadap suatu kata.
-            Bermain akan menigkatkan daya tarik anak sehingga frekwensi dan durasi latihan bisa lebih lama.
-            Anak lebih suka mendengarkan kata-akat dari pada mengucapkan karena biasanya kesulitan dalam mengucapkan.
-            Untuk mengetahui jenis dan beratnya gangguan serta keterlambatan  dalam berbicara pada anak.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kerusakan fungsi alat-alat artikulasi

-            Stimulasi bahasa dan latihn bicara tetap dilakukan sesuai dengan perkembangan mentak anak.

-            Kolaborasi: dengan ahli bedah untuk perbaikan alat-alat artikulasi.

-            Untuk mengindari  keter-lambatan perkembangan mental, bahasa maupun bicara  ketika alat artikulasi sudah bisa  diperbaiki.
-            Perbaikan alat-alat artikulasi hanya bisa dilakukan secara optimal dengan pembedahan.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran






Gangguan komunikasi berhubungan dengan hambatan bahasa

-            Lakukan latihan komunikasi, dan stimulasi dini dengan benda-benda atau dengan menggunakan bahasa isyarat serta biasakan anak melihat artikulasi  orang tua dalam berbicara.
-            Perhatikan kebersihan telinga anak


-            Kolaborasi  dengan rehabilitasi untuk penggunaan alat bantu dengar.
-            Gunakan bahasa yang sederhana dan umum digunakan dalam komunikasi sehar-hari.

-            Gunakan verifikasi bahasa sesuai dengan tingkat kematangan dan pengetahuan anak.
-            Agar stimulasi tetap diterima anak sesuai dengan perlembangan mental anak yang didasarkan atas kemampuan penerimaan anak terhadap informasi yang diberikan
-            Ganguan pendengaran sering disebabkan oleh adanya hambatan pendengaran akibat adanya kotoran ditelinga.
-            Alat bantu dengar diharapkan mampu mengatasi hambatan pendengaran pada telinga anak.
-            Untuk memudahkan pemahaman  menghindari stress dan kebingungan anak yang akibat bahasa yang berubah-ubah.
-            Difersifikasi bahasa dapat diberikan jika kemampuan mental anak sudah matang seperti setelah  umur 9 tahun, karena perkembangan selsel otak anak sudah mulai maksimal.
Kecemasan orang tua berhubungan dengan ketidakmampuan anak berbicara

-            Gali kebiasaan komunikasi dan stimulasi orang tua terhadap anak.


-            Berikan penjelasan tentang kondisi anaknya secara jelas, serta kemungkinan penanganan lanjutan, prognose serta lamanya tindakan atau pengobatan.

-            Untuk dapat menggali efektivitas dan kemampuan serta usaha yang telah dilakukan oleh orang tua,  untuk mengindari overlaping tindakan yang berakibat orang tua menjadi bosan.
-            Pengikutsertaan keluarga terhadap perawatan anak secara langsung  akan mampu mengurangi tingat kecemasan orang tua terhadap keadaan anaknya.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kecemasan

-            Hindari bicara pada saat kondisi bising.

-            Lakukan komunikasi dengan posisi lawan bicara setinggi  badan anak.

-            Lakukan latihan bicara sambil bermain dengan mainan kesukaan anak.

-            Komunikasi tidak efektif sehingga anak menjadi irritabel.
-            Untuk meningkatkan pandangan mata dan efektivitas komunikasi sehingga anak merasa lebih nyaman.
-            Agar anak lebih tertarik dan tidak lekas bosan.

Gangguan komunikasi berhubungan dengan kurangnya kemampuan memori dan kerusakan sistem saraf pusat.
-            Lakukan observasi dan pemeriksaan fisik  neurologi secara mendetail.
-            Kolaborasi pemeriksaan EEG
-            Untuk mengetahui kemungkinan posisi kelainan dalam otak.
-            Untuk mengetahui kemungkinan kelainan pada SSP anak.


BAB IV
KESIMPULAN

1.      Proses terjadinya bicara ada dua, yaitu proses sensoris dan motoris.
2.      Etiologi delayed speech antara lain faktor lingkungan, emosi, masalah pendengaran, perkembangan terlambat, cacat bawaan dan kerusakan otak.
3.      Pemeriksaan penunjang pada delayed speech dapat berupa BERA, OAE, tympanometri, audiometri dan ASSR.
4.      Deteksi dini delayed speech sangat penting agar stimulasi dan intervensi dapat segera dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA
  
1.      Rudolph, Hoffman Rudolph.2006.Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 1 Edisi 20. Jakarta:EGC
2.      Judarwanto, W. 2008. Keterlambatan bicara pada anak, normalkah?. Diakses dari : http://www.w ikimu.com/News/Display News.aspx?id=10328&post=1
3.      Judarwanto, W. 2009. Epidemiologi : gangguan bicara pada anak. Diakses dari : http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/epidemiologi gangguan-bicara-pada-anak/
4.      Judarwanto, W. 2009. Proses mekanisme bicara dan bahasa : proses fisiologi bicara. Diakses dari :  http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/proses-mekanisme-bicaradan-bahasa-proses-fisiologi-bicara/
5.      Judarwanto, W. 2006. Keterlambatan bicara, berbahaya atau tidak berbahaya. Diakses dari : http://www.keterlambatan-bicara.blogspot.com/
6.      Audiyanti. 2008. Sharing mengenai tes pendengaran. Diakses dari : http://audiyanti.multiply.com/journal/item/28/Sharing_Mengenai_Tes_Pendengaran
7.      Kartika, H. 2007. Audiometri dasar. Diakses dari : http://hennykartika.wordpress.com/2007/03/11/audiometri-dasar/
8.      Judarwanto, W. 2009. Penyebab gangguan bicara dan bahasa. Diakses dari : http://speechclinic.wordpress.com/2009/06/28/penyebab-gangguan-bicaradan-bahasa-2/
9.      Anonim. 2009. Audiometri nada murni dan audiometri tutur. Diakses dari : http://www.alatbantudengar.com/ask-hearing-specialist.php
10.  Partiwi, A. 2005. Pentingnya deteksi dini keterlambatan bicara pada bayi dan anak. Diakses dari http://rafikamilani.multiply.com/journal/item/7

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar